ZAKAT PROFESI
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada orang yang mempunyai
pekerjaan atau keahlian tertentu baik yang dilakukan sendirian maupun bekerja
sama dengan orang lain, sehingga mendatangkan penghasilan (uang) dan
ketika dihitung memenuhi nisab. Adapun contoh dari profesi tersebut antara
lain: Profesi dokter, Advokat, Dosen dan lain-lain. Sebagaimana yang telah
terkandung makna dalam AL-QUR’AN surat AT-TAUBAH ayat 103. untuk berkewajiban mengeluarkan zakat harta profesi.
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[671] dan mensucikan [672] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[671] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan
cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[672] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam
hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Artinya : Ambillah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka.
Sesungguhnya do’a kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka dan allah maha
mendengar lagi maha mengetahui”(AT’TAUBAH:103)[1]
Seperti
diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat at-taubah diatas, bahwa secara teologis
kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan
sekaligus membersihkan jiwa pemeiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan
secara sosial menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang –orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga
terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat dan saling menolong dan saling
menyayangi.
Yusuf Qardhawy, Abu Zahrah maupun Maududi-bahwa cakupan zakat harus
diperluas pada bentuk kekayaan yang tidak dikenal pada masa permulaan islam,
seperti penanaman saham, kendaraan yang disewakan dan barang-barang modal
lainya, yang nilainya sudah sepadan dengan ukuran nisab yang secara jelas
ditunjuk oleh syara’atau bahkan melebihinya sudah seharusnya dikeluarkan
zakatnya juga.[2]
Terkait dengan penanaman saham atau modal tersebut diharapkan dapat dapat
mengembangkan modal yang ditanam itu.
Menurt keyakinan sebagaian orang penenaman modal itu dapat mendatangkan
keuntungan , walaupun sebagaian kecil ada yang mengalami kerugian seperti toko
terbakar.akan tetapi sebenarnya masih banyak lagi cara yang ditempuh untuk
menanam modal dalam berbagai usaha. Lantas timbul pertanyaan, apakah modal yang
ditanam itu termasuk kekayaan yang wajib dizakati atau tidak? Mengenai masalah
ini terdapat perbedaan pendapat yang masing-masing pihak mengeluarkan argumentasi
yang pantas dikaji (alasan) yang pantas dikaji, sebagai bahan pemikiran
dan penentu arah untuk landasan berpijak dalam menentukan hukum.
1.
Golongan orang
yang mengatakan bahwa penanam modal tidak dikenakan zakat, dengan alasan
1. Pada masa
rasulullah tidak pernah ada pungutan zakat atas rumah dan sebagainya, kecuali
yang disebutkan dalam hadist beliau, yang kemudian dijabarkan oleh para fuqaha
dalam kitab Fiqih. Ringkasan semua harta kekayaan dikenakan zakat apabila ada diamalkan pada
masa rasulullah.
2. Pendapat diatas
ndidukung oleh kenyataan, bahwa sekiranya benar ada kewajiban mengeluarkan
zakat atas harta kekayaan itu, tentu sampai pada masa kita pada zaman ini
secara berantai tetapi kenyataannya tidak demikian.
Pendapat
tersebut diatas terutama dibela oleh Mazhab Zahiri (Ibnu Hazm) yang
tidak mau menerima Qiyas, mereka hanya melihat pada lahiriah nash, melihat apa adanya dan tidak mau meliha yang
tersirat. Dengan demikian semua harta kekayaan seperti industri, perusahaan
angkutan,dan lain-lain tidak dikenakan zakat, karena materinya tidak
diperdagangkan, walaupun modal itu berkembang dari hasil sewanya atau hasil
produksinya.
Kemudian
golongan lain yang mewajibkan zakat atas penanam modal mengemukakan dengan
alasan-alasan:
1. Bahwa dalam
harta yang dimiliki sesorang ada hak oarng lain, apakah pengeluaranya berbentuk zakat atau infaq.
Sebagai mana firman Allah:
þ’Îûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian {orang miskin yang
tidak mau meminta} (QS adz-Dzaariyat;19).
Allah berfirman:
šúïÉ‹©9$#ur þ’Îû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ
Dan orang-orang yang dalam harta mereka tersedia bagian terentu,
bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang
tidak mau meminta) (QS al-Ma’arij:24-25).
2. Adalah logis,
apabila kepada harta kekayaan penanam modal dikenakan zakat, karna harta itu
bertumbuh dan berkembang, seperti rumah yang disewakan,perusahaan angkutan dan
lain-lain. Lain halnya rumah untuk tempat tinggal.
Demikian pendapat
sebagian bsara ulama, kecuali sebagian kecil ulama mazhab Zahiri, Muktajilah dan syiah yang berpendapat bahwa
harta kekayaan serupa itu tdak dikenakan zakat. Bila pendapat golongan pertama
sempat berkembang luas dalam masyarakat, penulis merasa agak kwatir, bahwa ada
usha dari kaum muslimin untuk menanamkan dananya kepada usaha-usaha atau
kegiatan-kegiatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, sehingga
tidak dikenakan zakat. Kekawatiran itu muncul, apabila iman ummat Islam
melemah.
Paham mazhab
Zahiri dijadikan sebagai temeng agar terhindar dari kewajiban membayar zakat
dan walaupun dalam masalah laian orang tersebut tidak menganut mazhab Zahiri
itu.
Dalam hal ini
penulis melihatnya dan menitik beratkan pada kaidah سد
الذ ريعة tindakan preventif, mencegah sebelum terjadi
dan bukan melihatnya dari segi ketidakbenaran hukumnya yang diambil dan
ditetapkan oleh mazhab Zahiri (Ibnu Hazm) dan ulama lainya yang sejalan
dengan mazhab itu.
Perlu diingat
bahwa suatu ketetapan hukum perlu dihormati, sebagaimana halnya orang yang
menentukan pilihan terhadap suatu ketentuan hukum atau mazhab, juga perlu
dihormati tidak dicela dan disudutkan. Namun sikap mental dan keikhlasan sangat
menentukan, agar orang tidak mencari helah dan ulah sehingga terbebas dari
kewajiban-kewajiban agama seperti zakat yang sedang dibahas ini.[3]
Menurut Yusuf
Qardhawi penghitungan zakat profesi dibedakan menjadi dua cara secara langsung
zakat dihitung dari 2,5 % dari penghasilan kotor baik dibayarkan bulanan maupun
tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rizkinya oleh Allah.
Contoh :
1.
Pak Hasyim
memperoleh gaji Rp. 500.000 perbulan atau pertahunnya Rp. 6.000.000
Kebutuhan pokok
Rp. 275.000 perbulan atau pertahunnya Rp. 3.300.000
Nilai
kekayaan Rp. 6.000.000 – 3.300.000 =
Rp. 2.700.000
Apabila telah melebihi
nishab, maka besarnya zakat yang harus dibayarkan
Rp. 2.700.000 x 2,5 % = Rp. 67.500
2.
Pak Kadir
memiliki perusahaan yang kekayaannya pada akhir tahun sebagai berikut :
Sisa dagangan Rp.
6.250.000
Keduntungan bersih Rp. 500.000
Jumlah Rp.
6.750.000
Apabila melibihi
nishab, maka besarnya zakat yang harus dibayarkan
Rp. 6.750.000 x 2,5 % = Rp. 168.750
KESIMPULAN
Melihat beberapa perbedaan pendapat diatas saya pribadi lebih
menitik beratkan bawasannya zakat harta profesi wajib untuk mengeluarkan zakat
bila sudah memenuhi nishab yang dalam hal ini saya qiyaskan dengan zakat barang
dagangan yakni 2,5 %.
DAFTAR PUSTAKA
-
Al-Quran Dan
Terjemahannya, Departemen
Agama RI
-
Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial, (Terjemah),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995
-
Yusuf Qardhawi,
Hukum Zakat, (Terjemah), intermasa, Jakarta, 1993
-
Drs. Musthafa
Kamal, B,Ed. Drs. MS. Chalil, MA Drs. Wahardjani, M. Ag. Fikih Islam.
Penerbit PT Persatuan Jogjakarta
0 komentar:
Posting Komentar