Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 07 November 2012

teori akad

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Dalam peradabannya, manusia senantiasa mencari sistem dan bentuk yang bisa memberinya kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan sosial (muamalat)nya, peradaban manusia akhirnya menemukan apa yang disebut perjanjian atau dalam bahasa hukum Islam akad. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, perjanjian atau akad memiliki posisi signifikan dalam kehidupan sehari-harinya. Akad merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Muslim. Mulai dari aktifitas jual beli, kontrak, pinjam meminjam, asuransi, hutang piutang, pernikahan dan lain-lain tidak bias dilepaskan dari akad. Akad-lah yang membedakan antara orang berzina (kumpul kebo) dengan orang yang sah melakukan hubungan suami-isteri, akad pulalah yang membedakan antara mana yang riba (haram) dan yang tidak riba (halal).
Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dengan demikian, akad memfasilitasi manusia dalam melakukan aktifitas kehidupannya sekaligus memberikan legalitas. Karena demikian pentingnya akad ini, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadapnya. Di dalam literature literatur fikih, akad biasanya dibahas di dalam bab tersendiri dalam fikih muamalat. Pembahasan di dalamnya cukup panjang lebar mulai dari definisi, rukun, syarat, objek dan lain sebagainya. Namun demikian, literatur-literatur tersebut dijumpai dalam bahasa Arab, bisa dihitung dengan jari literatur yang menggunakan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu kami sebagai mahasiswa akan mencoba mengulas tentang apa saja hal-hal yang berkaitan dengan akad, karena akad tidak akan pernah lepas dari kehidupan sehari-hari pada manusia.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan akad?
2. Apa yang dimaksud pembentukan akad?
3. Bagaimanakah kriteria akad yang sah dan tidak sah dalam fiqih?
1.3  TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, dapat di ambil tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari akad
2. Untuk mengetahui pembentukan akad
3. Untuk mengetahui akad yg sah dan yg tidak sah
1.4. METODOLOGI PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu mengambil materi-materi dari berbagai sumber buku. Selain itu, penulis juga mengambil materi dari internet demi kelengkapan makalah yang penulis buat ini.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1            Pengertian
Secara etimologi, akad antara lain:
الرَّ بْطُ بَيْنَ اَ طْرَا فِ الشَيْءِ سَوَا ءٌ أَكَا نَ رَبْطًا حِسِّيّاً أمْ مَعْنَوِ ياً مِنْ جاَ نِبٍ أَوْ مِنْ جاَ نِبَيْنِ
Artinya ”ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga berarti العهد (sambungan), العق ة (janji)
Menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus.
1.      Pengertian umum
Secara umum , pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَا عَزَمَ اْلمَرْءُ عَلًى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدْرَ بِاِ رَا دَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كاَ لوَ قْفِ وَلْإبْرَاءِ وَالطًّلَا قِ وَاْليَمِيْنِ أَمْ إِحْتاَجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِى إٍنْشَاءِىهِ كَا لْبَيْعِ وَاْلاِيْجَا رِ وَاْلتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya : segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
2.      Pengertian khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih antara lain:
ارتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع يثبت اثره فى محله
Artinya : perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

تَعَلُّقُ كَلًامِ أَحَدِ اْلعَاقِدَيْنِ بِلْاٰ خَرِ شَرْعاًعَلًى وَجْهٍ يَظْهَرُ أَثَرُهُ فِى اْلمَحَلِّ

Artinya : pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,”saya telah menjual barang ini kepadamu” atau “aku serahkan barang ini kepadamu” contoh qabul “ saya beli barangmu” atau saya terima barangmu’
Dengan demikian ijab-qabul adalah sesuatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhoan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu , dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhoan dan syariat islam.

2.2            Pembentukan akad
A.    Rukun akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu:
a.       Orang yang akad (’aqid), contoh; penjual dan pembeli
b.      Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh, harga atau yang dihargakan
c.       Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Definisi ijab dan qabul
Definisi ijab dan qabul menurut Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.
Dengan demikian ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan yang menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syari’at islam.
B.     Unsur unsur akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu sebagai berikut:
a.       Shighat Akad
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat tersebut biasa disebut ijab dan qabul.
Metode (uslub) shighat ijab dan qabul, antara lain:
1.      Akad dengan lafadz (ucapan)
Shighat dengan ucapan adalah shighat akad yang paling banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat difahami. Tentu saja kedua pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukkan keridaannya.
a.       Isi lafadz
Shighat akad dengan ucapan tidak disyaratkan untuk menyebutkan barang yang dijadikan objek-objek akad, baik dalam jual beli, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain. Hal itu disepakati oleh jumhur ulama, kecuali dalam akad pernikahan.
b.      Lafadz shighat dan kata kerja dalam shighat
Para Ulama

2.      Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan tetapi cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi dizaman sekarang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diantara para ulama berbeda pendapat yaitu:
1.      Ulama Hanafiyah dan Hanabilah memperbolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui secara umum oleh manusia, jika belum diketahui secara umum, akad seperti itu dianggap batal.
2.      Madzhab Imam Maliki membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas menunjukkan kerelaan, baik barang tersebut diketahui secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
3.      Ulama Syafi’iyah, Syiah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarkan karena tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut.
3.      Akad dengan isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenrkan akad dengan isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat. Dalam kaidah ini, para ulama fiqh membuat suatu kaidah yaitu:
الإِ شاَرَاتُ المَعْهُوْ ذَا ةُ لِاَخْرَسِ كاَ البَيَانِ بِا للّساَنِ
Artinya
Isyarat yang jelas dari orang bisu sama dengan penjelasan dengan lisan.
4.      Akad dengan tulisan
Dibolehkan akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya.
الكِتَابُ كاَ اْلخِطَابِ
Artinya:
Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan.
Namun demikian, dalam akad dalam akad nikah tidak boleh menggunakan tulisan jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini karena akad harus dihadiri oleh saksi, yang harus mendengar ucapan orang yang akad, kecuali bagi orang orang yang tidak dapat berbicara.



2.3            Syarat-syarat akad
Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Adapun syarat-syarat umum suatu akad itu adalah:
1.      Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf), atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya sebab suatu akad yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum mumayyis secara langsung hukumnya tidak sah, tetapi jika dilakukan oleh wali mereka, dan sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu hukumnya sah.
2.      Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula:
a.       Berbentuk harta,
b.      Dimiliki oleh seseorang,
c.       Dan bernilai harta menurut syara’, apabila obyek akad tersebut tidak bernilai harta dalam islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamr.
Menurut Jumhur Ulama selain ulam Hanafiyah, menytakan bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai dan darah tidak bisa dinyatakan obyek akad, karena najis dan tidak bernilai harta dalam syara’.
3.      Akad itu tidak dilarang oleh nash (ayat atau hadits) syara’. Atas dasar syara’ ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu, apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada dibawah pengampuannya, maka akad itu batal menurut syara’.
4.      Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Artinya disampiung memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad itu harus memenuhi syarat-syarat khususnya. Misalnya dalam jual beli.
5.      Akad itu bermanfaat.Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seorang yang berakad merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal. Misalnya, seorang yang melakukan kejahatan melakukan akad dengan orang lain bahwa ia akan menghentukan kejahatannya jika ia diberi sejumlah uang atau ganti rugi. Dalam kasus ini dinyatakan batal oleh syara’ karena tidak mengandung manfaat sama sekali.
6.      Pernyataan ijab tetap utuh dan syahih sampai terjadinya qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan maka akad itu tidak sah. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan suatu transaksi dagang melalui surat, pembeli menyampaikan ijabnya melalui surat, yang memerlukan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai pada penjual, pembeli telah gila maka itu dinyatakan tidak sah.
7.      Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Jika kedua pihak hadir, atau jika berada ditempat yang berbeda tetapi dimaklumi oleh keduanya. Seperti dengan telpon.
8.      Tujuan akad itu jelas dan diakui oleh syara’. Apabila tujuan suatu akad berbeda dengan tujuan aslinya, maka akad itu tidak sah.
2.4       Macam- macam Akad
Ada banyak  jenis  akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.
a.    Akad Sah dan Tidak Sah
Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.
Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.
Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fâsid) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fâsid) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fâsid dan batal.
Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.
Adapun akad fâsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fâsid memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.

b. Dengan Melihat Penamaan
Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghairu musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual-beli (buyû'), ijârah , syirkah , hibah, kafâlah , hawâlah , wakâlah , rahn (gadai) dan lain-lain. Sedangkan akad ghairu musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishnâ' , baiul wafâ' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah) lain-lain.
c. Akad ‘Aini dan Ghairu ‘Aini
Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi ‘aini dan ghairu ‘aini. Akad ‘Aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah , i’arah , wadiah , rahn dan qardh. Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal. Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.

d. Pembaagian akad mengikut sifatnya dari aspek syarak, terbagi kepada beberapa jenis iaitu sahih (صحيح) , batil (باطل), nafiz (نافذ), mauquf  (موقوف), lazim (لازم) dan ja’iz (جائز).

1)       Akad sahih ialah kontrak yang sempurna semua rukun dan syarat yang ditetapkan syarak dan tidak ada sebarang unsur dan sifat meragukan yang boleh mengeluarkannya dari dikira sah dari segi pensyariatannya. Hukum kontrak ini ialah sah dan sabit kesannya serta-merta sebaik sahaja selesai ijab dan qabul jika tidak ada khiyar dalam jual beli.
2)        Akad batil ialah kontrak yang tidak sempurna (cacat) syarat dan rukunnya. Hukum kontrak seperti ini ialah tidak sah dan tidak melahirkan sebarang kesan sedikit pun.
3)       Akad nafiz ialah kontrak yang terbit dari seseorang yang mempunyai kelayakan dan kuasa untuk melakukannya. Hukumnya ialah kontrak seperti ini menerbitkan kesan segera sebaik sahaja ia dibuat, tanpa tertakluk kepada kelulusan dan keizinan seseorang.
4)       Akad mauquf ialah kontrak yang terbit dari seseorang yang mempunyai kelayakan untuk berkontrak, tetapi dia tidak mempunyai kuasa untuk melakukannya seperti kontrak yang dilakukan oleh kanak-kanak yang mumaiyiz bagi kontrak yang ada risiko untung dan rugi. Hukumnya ialah kontrak ini tidak boleh melahirkan sebarang kesan melainkan setelah mendapat kelulusan dan persetujuan oleh pemilik hak yang berkuasa melakukannya. Jika pemilik hak tidak mempersetujui atau meluluskannya maka kontrak itu menjadi batal.
5)       Akad lazim ialah kontrak yang tidak membolehkan salah satu pihak yang memeterai kontak membatalkannya tanpa persetujuan pihak yang lagi satu seperti kontrak sewa dan jual beli.
6)       Akad jaiz ialah kontrak yang membolehkan salah satu pihak yang berkontrak membatalkannya tanpa sebarang persetujuan pihak yang lagi satu seperti kontrak wakalah.

e. Pembaagian akad dari aspek ada atau tidak ada kesannya terhadap akad yang dibuat pula terbahagi kepada munjiz (منجز), muallaq (معلق) dan mustaqbali (مستقبلى).

1)      Akad munjiz ialah kontrak yang dibuat dengan lafaz yang tidak digantungkan dengan sebatang syarat dan tidak disandarkan pelaksanaannya pada masa hadapan. Kontrak seumpama ini menerbitkan kesan segera ke atas kontrak sebaik sahaja ia dibentuk.
2)      Akad muallaq ialah kontrak yang dikaitkan kewujudannya dengan wujudnya sesuatu yang lain. Sekiranya wujud perkara tersebut maka wujudlah kontrak, jika sebaliknya maka tidak berlakulah kontrak. Sebagai contoh si polan A berkata kepada si polan B, “jika aku jadi keluar negara maka engkaulah menjadi wakil ku”. Kontrak seumpama ini tidak akan terbentuk melainkan adanya syarat yang dikaitkan itu.
3)      Akad mustaqbali ialah kontrak yang dibuat dengan lafaz penerimaan disandarkan pada masa yang akan datang. Hukum kontrak ini ia akan berlaku atau terbentuk segera, tetapi kesannya tidak ada kecuali pada waktu yang ditetapkan itu, iaitu waktu yang disandarkan berlaku. (al-Zuhaily,Wahbah, Fiqh & perundangan Islam, jld.4, hlm.235-248 dan al-Banhawi, Mohd Abdul Fatah, 1999, Fiqh al-Muamalat Dirasah Muqaranah, Jamiah al-Azhar, Tanta, hlm.11-14.)
f.     Aspek kehalalan akad
Kehalalan transaksi-transaksi di atas untuk selanjutnya akan menjadi haram dilakukan jika hal lain yang menyertainya, seperti mekanisme dan cara memperolehnya dilarang syariah. Ada beberapa illat yang menyebabkan dilarangnya kegiatan jual beli (tentunya termasuk juga investasi). Berdasarkan Al-Qur’an, Hadist dan pendapat para ahli fiqih (ajaran Islam), illat pelarangan tersebut adalah (Badan Pengawas Pasar Modal, 2004:12) : 

1) Haram karena bendanya (zatnya) 
Pelarangan kegiatan muamalah ini disebabkan karena benda atau zat yang menjadi objek dari kegiatan tersebut berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist telah dilarang atau diharamkan. Benda-benda tersebut, antara lain babi, khamr bangkai binatang dan darah. 

2) Haram selain karena bendanya (zatnya) 
Pengertian dari pelarangan atas kegiatan ini adalah suatu kegiatan yang objek dari kegiatan tersebut bukan merupakan benda-benda yang diharamkan karena zatnya. Artinya benda-benda tersebut adalah benda-benda yang dibolehkan (dihalalkan), tetapi menjadi haram disebabkan adanya unsur: 
a) Tadlis; tindakan sengaja mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Dalam konteks pasar modal, ini bisa berarti pengaburan informasi. 
b) Taghrir/ Gharar; situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. 
c) Riba; tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. 
d) Bay Najash; situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu untuk menciptakan harga jual yang tinggi. 
e) Ihtikar; situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. 
f) Ghaban; situasi dimana si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market price) tanpa disadari oleh pihak pembeli. 
2.5          Akhir Akad
Para Ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
a.       Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu
b.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
c.       Dalam Akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika:
1.      Jual beli itu fasad (rusak), seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi,
2.      Berlakunya khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar rukyah
3.      Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
4.      Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna
d.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
2.6                               Hikmah Akad
a.       Memperkuat hak milik seseorang sehingga pihak lain tidak bisa memilikinya
b.      Benda yang dimiliki menjadi sah dan berhak untuk dimiliki dan dinikmati
c.       Tidak bisa semena-mena dalam melangsungkan atau membatalkan suatu ikatan perjanjian.
d.      Menjadikan ketenangan kedua belah pihak didalam suatu transaksi atau memiliki sesuatu.



BAB III
PENUTUP
3.1       KESIMPULAN
     Dengan ini kita mengetahui definisi akad, akad banyak jenisnya, rukun-rukun akad,syarat-syarat akad, dan akad sangatlah penting bagi kehidupan mukallaf dalam bermasyarakat dan (Hablumminannas).
3.2       SARAN
       Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan rekan-rekan dalam memahami studi islam, masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang












DAFTAR  PUSTAKA

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,( Jakarta: penerbit Universitas Indonesia, 1985)
Endang Saifudin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam, usaha Enterprise, Jakarta, 1978
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung Penerbit Mizan, 1996)
Ali,hasan.2004.Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam.Jakarta:Kencana
Haroen,Nasruin.2000.Fiqih Muamalah.Jakarta:Radar Jaya Pratama
Sabiq,Sayyid.1988.Fiqih Sunnah 13.Bandung:PT. Al maarif Bandung
Ash-syiddiqi,Hasbi.1974,Pengantar Fiqih Muamallah.Jakarta:Bulan Bintang
Syafi’i,Rahmad.1998.Fiqih Muammalah.Bandung:Pustaka Setia

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

http://www.search-document.com/ppt/1/pelajaran-hadits-mts.html http://www.odrivers.com/2011/12/toshiba-nb505-n508bn-windows-7-32-bit.html

Blog Archive