BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Tarikh artinya
catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan
sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah
peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah
kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu
keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang
nilai baik dan buruk).
Sedangkan tasyri’ berarti
penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah
saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas
pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh
Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang
sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak
pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini.Tasyri’ juga
bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan
undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa
berarti al-utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al-
ma’i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk
mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber
air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang
lurus yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan
dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam
surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Syura
ayat 13. Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat
48. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang.
Syari’ah adalah“law
statute” artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam. Syariat
menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul untuk
hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang berkaitan
dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang berkaitan
dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para
Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah.
Syariat disebut
juga din (agama) dan millah. Syari’ah
Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala
untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem
kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama
makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada masa
dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh
sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa
rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda
kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada
tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh,
mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah
satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama
disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir
adalah Ali Bin Abi Tholib.Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang
meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam
selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi
itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka
berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di
sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada
masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum
juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua
permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak
perbedaan penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka
sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat
yang di lihat pada tatanan sosialnya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin,
dan faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2.
Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa
khulafaurrasyidin?
3.
Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa
khulafaurrasyidin?
4.
Apakah
sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kondisi Tasyri’
Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan dan
perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam
literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut
pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu
(a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan
pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d)
Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).Masa Khulafaurrasyidin
(632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu
turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui
Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah
maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan
meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw
sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya
termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam
sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut
khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih
berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode
kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia,
tetapi periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga
masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di
dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu,
Khulafaurrasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara
penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir,
Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai
muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh
saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada
didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat
meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini
mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun
Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum
jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam
berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada
kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai
bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’
yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam
urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di
hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab
mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka
menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits
melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin
bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw.
Karena itulah
maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini
fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan
kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi
bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti
syari’at yang telah di ajarkan oleh Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu
sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi,
kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum
mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita
perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat.Berikut
di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a.
Sahabat
khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran
meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b.
Sahabat
mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti
ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c.
Sahabat takut
akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d.
Sahabat
khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e.
Sahabat
menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena
Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini
perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan
kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan
inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah
hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang
banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering
mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya
suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang
menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan
Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain
:
1.
Di Madinah :
Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2.
Di Makkah :
Abdulloh bin Abbas.
3.
Di Kuffah : Ali
bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.
4.
Di Syam :
Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5.
Di mesir :
Abdulloh bin Ammar.
Pada mulanya para mufti berdomisili
di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke
daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini,
memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama.
Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan
sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir.
Ini untuk
pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas
masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
pluralistik. Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi
perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan
“diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan
kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada
persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.
Para
Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan
Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk
kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran
dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua
sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka
secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari
berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap
persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya.
Sebagian dari
mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan
masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang
mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha
untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas
hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah
terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas
merinci hukum masalah ini.
2.2
Sumber-sumber
Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat
adalah
(a)
Al-Quran;
(b)
Sunnah, dan
(c)
Ijtihad (ra’yu).
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping
individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan
hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa
ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah dipertimbangkan
akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber hukum Islam yang kedua
adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan
bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap
dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau
tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan
pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya
bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin
Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat
dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang
berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab
dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam
surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia
melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati
oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang
diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan),
sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.Kita ketahui secara pasti
bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat
banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun
tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran
dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul
keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali
kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi
nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada
Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya
Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam
pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman
Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah
Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits
secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun
demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah.
Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan
menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah
karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan
Rasul, mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta
berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul. Alasan para
sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan
ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn
Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi
sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya,
”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi
dengan Sunnah Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah
Rasululloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.
2.3
Karakteristik
Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Tidak setiap orang Islam mampu
mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta mampu memahami
hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek
pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami
nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk
penafsiran nash. Aspek kedua ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar
di kalangan umat Islam secara merata. Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode
ini baru dibukukan dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasul dan
di rumah sementara sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah, bahwa materi
undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan peradilan yang
terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan
hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya. Dengan
adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas
pundak merekalah kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud
adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan
penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan
menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran
dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam
peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya.
Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan
mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang
berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena
pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan
pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta
menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sebab-sebab turunnya
ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman
bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para
sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang
tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan
umat Islam mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa
penjelasan maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak mengalami perkembangan,
periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari pada melakukan ekspansi.
Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah apabila
masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat
dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka di anggap sebagai
keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu itu, sehingga
perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini. Masa pemerintahan
Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam,
karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama
generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan
dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
Umat Islam telah berusaha
sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan para
perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini. Adapun
sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah
belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan
juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar Ibn
Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar
pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap
pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi
Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran
bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari
Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh
para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek
perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar
di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits
mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali
Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap
hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan Al-Sunnah.
Dalam periode (ijtihad) sahabat,
belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para
sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal dari Alloh,
tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat
tidak mengharuskan siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti
fatwanya.
2.4
Sebab-Sebab
Timbulnya Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua
pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini
berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama
memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan
makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya
mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini
kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua,
sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk
penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan
Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan
masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu
Sunnah atau Sunni. Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat
dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh
sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang
ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ). Sebab-sebab
perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut
:
a)
Dalam Al-Quran
terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya firman
Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh suaminya
hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl
dan al-thuhr.
b)
Hukum yang
ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi
kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran
terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena
suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita
yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua
ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang
hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat
bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam
keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut.
Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah
hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat,
yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
a.
Tidak semua
sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada
yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena
perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada
yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b.
Kadang-kadang
riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada
sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa
ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di
dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa
dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c.
Sahabat berbeda
pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat
berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas
berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah. Adapun perbedaan
pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya
perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam
waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu,
apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya,
apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu
tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami
berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan
waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan
pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat
disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima
persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits.
Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan
pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan
quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya
(dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur ‘@Ïts† £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þ’Îû £`ÎgÏB%tnö‘r& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya : Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya
Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
hal Ini
disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
Dalam hal ini
ada perbedaan pendapat dari sahabat
memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit,
quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua,
munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan
kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati
tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru
kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih
), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga,
sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa
berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya
atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih.
Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits.
Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha
ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan
periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits
di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat,
perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan
penggunaan kaidah dan Metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu
persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima,
ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode
Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka
hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi
dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam,
perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada
yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka
. Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits,
demikian sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah
wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan
sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan
musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin
Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam
yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu
). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul
dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’.
Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi
khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran,
dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat
mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul
meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas
dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk
mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika
yang bermunculan.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1967)
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990)
Jaih
Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000)
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006)
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996)
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006)
0 komentar:
Posting Komentar