BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam
kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa
dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para
filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa,
dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang
didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan
tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah
wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam
sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan
“Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka
bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia,
Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan
dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit
menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu
organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya
monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran
Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang
diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya ikhwan al-
shafa’?
2.Bagaimanakah pandangan agama dari ikhwan al shafa’?
3. Karya apa sajakah dari Ikhwan Al-Shafa?
2.Bagaimanakah pandangan agama dari ikhwan al shafa’?
3. Karya apa sajakah dari Ikhwan Al-Shafa?
1.3 TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di
atas, dapat di ambil tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya ikhwan al
shafa’
2. Untuk mengetahui pandangan agama dari ikhwan al shafa’
3. Untuk mengetahui karya-karya ikhwan al shafa’
2. Untuk mengetahui pandangan agama dari ikhwan al shafa’
3. Untuk mengetahui karya-karya ikhwan al shafa’
1.4. METODOLOGI PENULISAN
Dalam penulisan makalah
ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu mengambil materi-materi
dari berbagai sumber buku. Selain itu, penulis juga mengambil materi dari
internet demi kelengkapan makalah yang penulis buat ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 SEJARAH LAHIRNYA DAN FILSAFAT IKHWAN AL-SHAFA’
A. Sejarah
Lahir dan Karyanya
Setelah wafatnya Al-Farabi,
munculnya dikalangan muslim kelompok yang menyebut diri mereka sendiri dengan
nama Ikhwan al-Safa, yang berarti saudara-saudara [ yang mementingkan ]
kesucian [batin,atau jiwa]. Mereka berhasil meninggalkan karya ensiklopedis
tentang ilmu pengetahuan dan falsafat, Rasa’il Ikhwan al-Safa’, terdiri dari 52
risalah,yang dapat dibagi kedalam empat kelompok yaitu kelompok risaalah dalam
bidang matematika, kelompok risalah dalam bidang fisika, kelompok risalah yang
berbicara tentang jiwa manusia, dan dan kelompok risalah yang mengkaji
masalah-masalah metafisika lainnya,seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan
setan.
Ikhwan Al- Syafa’ (Brethren of Purity atau The Pure Brethen)
adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia (filosifiko religius) berasal
dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar
abad ke-4 H / 10 M di Bashrah.kelompok ini merupakan gerakan bahwa tanah yang
mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di
kalangan pengikutnya.
kerahasian kelompok ini, yang juga
menamakan diri mereka khulan l-wafa’, ahl
al-Adl dan Abna’ al-Hamd, baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti
Buwaihi, yang berpaham syiah di Baghdad pada tahun 983 M .Ada kemungkinan
kerahasiaannya ini dipeng aruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan)
ajaran syekh karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat sunni yang
tidak sejalan dengan idiologinya.
Menerut Hana Al-Fakhury dan Kholil
Al- Jarr bahwa nama Ikhwan Al- Shafa’ diekspresikan dari kisah merpati dalam
cerita Kalilat wa Dumnat yang di
terjemahkan oleh ibnu muqoffa. Melihat pada kesetiaan dan kejujuran serta
kesucian persahabatan dalam organisasi ini seperti terdapat dalam kisah di atas
,agaknya pernyataan Hanna Al-Fakhury dan Khalil Al-Jarr dapat diterima. Namun,
penjelasan dari anggota yang bersangkutan hal ini tidak di temukan.
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan
Al- Safa’ yang ingin menyelamatkan masyarakat dan ingin mendekatkanya pada
jalan kebahagiaan yang di ridhai Allah.menurut mereka, syariat telah di nodai
bermacam-macam kejahilan dan di lumuri keaneragaman kesesatan. Satu-satunya
jalan untuk membersihkannya dalah filsafat.
Untuk memperluas gerakanya
,kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk
cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan
kebenaran.untuk itu ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:
1.
Ikhwan
Al-Abrar Al-Ruhamma’ yakni kelompok yang berusia 15-30thn
yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka bersetatus murid,
karenanya dituntut tunduk dan patuh
secara sempurna kepada guru.
2.
Ikhwan Al-Akhyar wa Al-Fudhala’,yakni
kelompok yang berusia 30-40 thn.pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara
persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap berkorban demi persaudaraan atau
tingkat guru-guru.
3.
Ikhwan
Al- Fudhala’Alkiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 thn.
Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah
mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
4.
Al-Kamal,
yakni kelompok yang berusia 50 thn keatas. Mereka disebut dengan tingkat Al-muqorrobin min Allah karena mereka
sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas alam
realitas.
Tingkatan
ikhwan diatas menunjukkan kepada kita bahwa betapa selektifnya mereka memilih anggota.dengan kata lain, tidak semua
orang di terima sebagai anggota ikhwan dan yang di terima adalah mereka yang
benar-benar memenuhi syarat dan memiliki kwalitas yang unggul trutama dalam
bidang ketajaman pemikiran.
Pada
masa kholifah abbasiyah dikuasai dinasti Salah jika yang berfaham Sunni.
Gerakan kelompok ini di anggap mengganggu stabilitas keaamanan dan
ajaran-ajaranya di pandang sesat. Maka, pada thn 1150 Kholifah Al-mumtanzid
menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwan di serahkan kepadanya untuk
di bakar. Hal ini di sebabkan
semata-mata perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salahjikah yang Sunni
dengan kelompok Ikhwan Al-Safa yang Syiah.
v Karya Tulisnya
Pertemuan
–pertemuan yang diselengarakan kelompok Ikhwan Al-Shafa ini menghasilkan karya
tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasa’il Ikhwan al-Shafa’.ia merupakan ensiklopedia populer tentang
ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi, Rasa’il ini dapat diklasifikasikan
menjadi empat bidang:
a.
14 risalah tentang matematika, yang
mencakup geometri, astronomi,musik, geografi. Seni, modal, dan logika;
b.
17 risalah tentang fisika dan ilmu alam,
yang mencakup genologi, mineralogi, botani , hidup dan matinya alam, senang
sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran;
c.
10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup
metafisikaPythagoreanisme dan kebangkitan alam
d.
11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan
meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka,
kenabian dan keadaanya,tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan
Allah, magic dan azimat
B.
Filsafatnya
1. Al-Tawfiq dan Al-Talfiq
Pemikiran
al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan Al-Syafa’ terlihat pada tujuan pokok pada
bidang keagamaan yang hendak mereka capai, yakni merekonsiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada.
Usaha itu terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori
bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-saatunya jalan
untuk membersihkannya adalah filsafat.usaha rekonsiliasi antara agama dan
filsafat seebenarnya telah dilakukan Al- Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi
bedanya kedua fiosof muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat
dan agama,sebagaimana yang termuat dalam Al-quran.sementara itu Ikhwan
al-Shafa’ melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan
agama.karenanya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat
dengan agama islam, namun juga dengan antara filsafat dengan seluruh
agama,ajaran, dan keyakinan yang ada.
Kesannya
Ikhwan al-Syafa’menempatkan filsafat diatas agama. Akan tetapi, sebenarnya
bukanlah demikian. Mereka hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama
yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dalam bidang agama.menurut
mereka ungkapan Al-quran yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan
tingkatan nalar orang Arab Baduiyang berkebudayaan bersahaja.
Pada
pihak lain, tawfiq (rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil
ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan kata
lain, mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka
diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat dapat juga
memahami hakikat segala sesuatu, dan di akhiri dengan beramal sesuai dengan
pengetahuan.
Sebenarnya
antara tujuan filsafat dengan agama, menurut Ikhwan al-Syafa’ adalah sama.
Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia
dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang mulia dan tingkah laku yang terpuji.
Sementara itu agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan
mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat.
Menurut
diatas pandangan- pandangan mereka tidak berbeda dengan pandangan para filosof
Muslim pada umumnya. Menurut filosof muslim agama memang seharusnya dinyatakan
dalam lambang-lambang dan simbol-simbol (amsal
wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar
umat manusia. Jadi, dasar pemadunya menurut mereka seperti telah disebutkan,
terletak pada tujuan agama itu sendiri, yakni untuk mendekatkan dirinkepada
Allah.oleh karena itu mereka mencapai maksud tersebut diperlukan filsafat.
Selanjutnya
mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti Islam,
Kristen, Majuzi, Yahudi, dan lain-lainnya. Menurut mereka tujuan semua agama
tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu mereka
menghimoun, menyusun dan memadukan semua agama yang ada menjdi satu agama
khusus yang didasari atas asas filsafat.ini akan mereka jadikan sebagai
pegangan dalam negara baru yang mereka impikan.
2. Ketuhanan
Dalam
pembahasan masalah ketuhanaan, Ikhwan Al- Shafa’ melandasi pemikirannya pada
angka-angka atau bilangan. Menurut mereka angka bilangan adalah “lidah” yang
mempercakapkan tauhid, al- tanzih,
dan meniatakan sifat dan tasybih
serta dapat menolak atas orangyang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain,
pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena
apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.
Selanjutnya
mereka katakan, angka satu seelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain angka satu adalah angka yang pertama
dan angka itu lebih daghulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu,
keutamaan terletak pada yang terdahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua
dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha
Esa (Allah) lebih dahulu darimpada yang lainnya seperti dahulunya angka satu
dari angka lain.
Sebagaimana
filosaof Muslim lainnya, Ikhwan al-Shafa’ juga melakukan al-tanzih dan meniadkan sifat sertaal-tasybih pada Allah Swt. Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia
adalah Zat Yang Esa, yang tidak mampu makhluknya untuk mengetahui hakikatnya.
Ia pencinta segala yang ada dengan caraal-
faidh (emanasi) dan memberi bentuk. Penciptanya tanpa waktu dan tempat
cukup dengan firmannya: kun fakana maka
adalah segala yang dikehendakinya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur
dan bercampur seperti adanya angka dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana
bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lainnya,
demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupainya. Akan tetapi, ia
jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenalnya tanpa belajar.
Dari
pembicaraan diatas terlihat jelas besarnya pengaruh NeoPythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan al- Shafa’. Barng kali
kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al- Shafa’
mengambilnya sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Tentangf
ilmu Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya
seluruh bilangan dalam bilang satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu
Allah dari zatnya sebagaimana bilangan yang banyak dari dari bilangan yang satu
yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang
ada.
3.
Emanasi
( al-faidh)
Filsafat
emanasi Ikhwan al- Shafa’terpengaruh oleh Pytagoras dan Plotinus. Menurut
mereka, Allah aadalah pencipta dan mutlak Esa.dengan kemauan sendiri Allah
menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian Allah
menciptakan jiwa dengan perantaraan Akal. Selanjutnya Allahmenciptakan materi
pertama (al- hayula al- ula). Dengan
demikian, kalau Allah kadim, lengkap, dan sempurna, maka Akal Pertama lengkap
segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya.
Jadi,Allah
tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid
dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkasa rangkaian prises
emanasi itu sebagai berikut:
Allah maha pencipta dan darinya timbulanya:
a.
Akal Aktif atau Akal Pertama (al- Aql al- Fa’al);
b.
Jiwa Universal (al- Nafs al- Kuliyyat);
c.
Materi Pertama (al- Hayula al- Ula);
d.
Alam Aktif (al – Thabi’at al Fa’ilat);
e.
Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jims al- Muthlaq);
f.
Alam Planet-Planet Alam al- Aflak);
g.
Unsur-unsur alam terendah (Anashir al- Alam al- Sufla’), yaitu
air, udara, tanah dan api;
h.
Materi gabungan yang terdiri dari
mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu, manusia termasuk dalam
kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Selaras dengan
prinsip matematika Ikhwan Al-Shafa’ kedelapan mahiyah di atas bersama zat Allah
yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan
ini juga membentuk subtensi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum,
daging,urat, darah, saraf,kulit, rambut, dan kuku.
Proses penciptaan secara emanasi di
atas, menurut Ikhwan Al- Shafa’ terbagi menjadi dua: (a) penciptaan sekaligus, daf’atan wahidah (b) penciptaan secaara
gradual,tadrij. Penciptaan sekaligus
apa yang mereka sebut alam rohani, yakni akal, aktif, jiwa universal, dan
materi pertama. Sementara itu, penciptaan gradual apa yang mereka sebut dengan
alam jasmani, yakni Jisim Mutlak dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam
zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang. Periode-periode ini akan
membentuk perubahan- perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam
hari.
4.
Matematika
Dalam pembahasan matematika Ikhwan
Al- Shafa’ dipengarui oleh Pythagorasyang mengutamakan pembahasannya tentang
angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang
dapat dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu ilmu hitung merupakan ilmu
yang mulia dibanding ilmu empirik karena tergolog ilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala
wujusd ini dan merupakan permulaan yang absolut. Huruh Hijaiyah yang 28
merupakan hasil perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung angka
kesucian sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang
tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu didalam ini, seaperti
empat penjuru angin, empat musim dan lainnya
5.
Jiwa
Manusia
Dalam Jiwa manusia bersumber dari
jiwa universal dan berkmbangnya jiwa manusia banyak dipengarui materi yang
mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya maka jiwa itu
dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki
tiga fakultas
a.
Jiwa tumbuhan
Jiwa ini
dimiliki oleh semua makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini
terbagi dalam tiga daya: makan, timbuh, dan reproduksi
b.
Jiwa hewan
Jiwa ini hanya
dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dana
sensasi ( ersepsi dan emosi)
c.
Jiwa manusia
Jiwa ini hanya
dimiliki oleh manusia, jiwa yang menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.
Ketiga fakultas jiwa
diatas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri manusia.
Di inilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
6.
Moral
Adapun
tentang moral, Ikhwan al- Shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu
tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus
memupuk rasa cinta untuk bisa sampai ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui
tanpa berbuat adalah si-sia. Keasabaran dan ketabahan dan kehalusan kasih
sayang, keadilan rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk
orang lain kesemuanya harus menjadi kaarakteristik pribadi
2.2 PEMIKIRAN
IKHWAN AL-SHAFA TERHADAP PENDIDIKAN
1)
Klasifikasi
Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang
pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan
metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan,
geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan
logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi,
kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera,
kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi
menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama
(psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa,
tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi
keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah,
kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2) Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a)
Cara
Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan
tiga cara, yaitu:
Þ Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita
ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
Þ Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus
dibantu oleh indera.
Þ Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris
Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam
dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah,
sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa
mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan
orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih,
belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas
tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih
dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa
awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata.
Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat
pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan
Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses
pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada
jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya,
jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi
atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya
penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam
pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar
(kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir
manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal
itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun
lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi
(internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan
(muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan
panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang
beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan
potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar
menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide
(Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu
dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia
tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu
dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus
berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan
antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia
terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama
(naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini,
ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan
ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini
Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga)
kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi
tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan
menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut
Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui
pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena
ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b)
Sosok Guru Ideal
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu
adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan
guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal
aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam
hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai
berikut:
1).
Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan
dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2).
Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang
usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan
bersikap dermawan.
3).
Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah
berusia 40 tahun.
4).
Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya
masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran
yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ikhwan al-Shafa
merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun
pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa.
Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang
ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif,
Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat
Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih
banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
3.2 SARAN
Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan rekan-rekan dalam memahami studi islam, masih banyak
terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan
saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin Zar, filsafat islam, ( Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, )
Nasution Hasyimsyah, 1999, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media
Pratama.
Supriyadi Dedi,
2009, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, CV Pustaka Setia.
Abdul aziz dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Djambatan
0 komentar:
Posting Komentar