Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 07 November 2012

ikhwan al shafa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
                Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
.
1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya ikhwan al- shafa’?
2.Bagaimanakah pandangan agama dari ikhwan al shafa’?
3. Karya apa sajakah dari Ikhwan Al-Shafa?

1.3  TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, dapat di ambil tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya ikhwan al shafa’
2. Untuk mengetahui pandangan agama dari ikhwan al shafa’
3. Untuk mengetahui karya-karya ikhwan al shafa’
1.4. METODOLOGI PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu mengambil materi-materi dari berbagai sumber buku. Selain itu, penulis juga mengambil materi dari internet demi kelengkapan makalah yang penulis buat ini.


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 SEJARAH LAHIRNYA DAN FILSAFAT IKHWAN AL-SHAFA’
A.    Sejarah Lahir dan Karyanya

Setelah wafatnya Al-Farabi, munculnya dikalangan muslim kelompok yang menyebut diri mereka sendiri dengan nama Ikhwan al-Safa, yang berarti saudara-saudara [ yang mementingkan ] kesucian [batin,atau jiwa]. Mereka berhasil meninggalkan karya ensiklopedis tentang ilmu pengetahuan dan falsafat, Rasa’il Ikhwan al-Safa’, terdiri dari 52 risalah,yang dapat dibagi kedalam empat kelompok yaitu kelompok risaalah dalam bidang matematika, kelompok risalah dalam bidang fisika, kelompok risalah yang berbicara tentang jiwa manusia, dan dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lainnya,seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.

Ikhwan Al- Syafa’ (Brethren of Purity atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia (filosifiko religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H / 10 M di Bashrah.kelompok ini merupakan gerakan bahwa tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya.

kerahasian kelompok ini, yang juga menamakan diri mereka khulan l-wafa’, ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd, baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi, yang berpaham syiah di Baghdad pada tahun 983 M .Ada kemungkinan kerahasiaannya ini dipeng aruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran syekh karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat sunni yang tidak sejalan dengan idiologinya.

Menerut Hana Al-Fakhury dan Kholil Al- Jarr bahwa nama Ikhwan Al- Shafa’ diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita Kalilat wa Dumnat yang di terjemahkan oleh ibnu muqoffa. Melihat pada kesetiaan dan kejujuran serta kesucian persahabatan dalam organisasi ini seperti terdapat dalam kisah di atas ,agaknya pernyataan Hanna Al-Fakhury dan Khalil Al-Jarr dapat diterima. Namun, penjelasan dari anggota yang bersangkutan hal ini tidak di temukan.

Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan Al- Safa’ yang ingin menyelamatkan masyarakat dan ingin mendekatkanya pada jalan kebahagiaan yang di ridhai Allah.menurut mereka, syariat telah di nodai bermacam-macam kejahilan dan di lumuri keaneragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya dalah filsafat.





Untuk memperluas gerakanya ,kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran.untuk itu ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:

1.      Ikhwan Al-Abrar Al-Ruhamma’ yakni kelompok yang berusia 15-30thn yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka bersetatus murid, karenanya  dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
2.       Ikhwan Al-Akhyar wa Al-Fudhala’,yakni kelompok yang berusia 30-40 thn.pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap berkorban demi persaudaraan atau tingkat guru-guru.
3.      Ikhwan Al- Fudhala’Alkiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 thn. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
4.      Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 thn keatas. Mereka disebut dengan tingkat Al-muqorrobin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas.

Tingkatan ikhwan diatas menunjukkan kepada kita bahwa betapa selektifnya mereka  memilih anggota.dengan kata lain, tidak semua orang di terima sebagai anggota ikhwan dan yang di terima adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan memiliki kwalitas yang unggul trutama dalam bidang ketajaman pemikiran.

Pada masa kholifah abbasiyah dikuasai dinasti Salah jika yang berfaham Sunni. Gerakan kelompok ini di anggap mengganggu stabilitas keaamanan dan ajaran-ajaranya di pandang sesat. Maka, pada thn 1150 Kholifah Al-mumtanzid menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwan di serahkan kepadanya untuk di bakar. Hal ini  di sebabkan semata-mata perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salahjikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan Al-Safa yang Syiah.


v  Karya Tulisnya

Pertemuan –pertemuan yang diselengarakan kelompok Ikhwan Al-Shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasa’il Ikhwan al-Shafa’.ia merupakan ensiklopedia populer tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi, Rasa’il ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
a.       14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi,musik, geografi. Seni, modal, dan logika;
b.      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genologi, mineralogi, botani , hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran;
c.       10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisikaPythagoreanisme dan kebangkitan alam
d.      11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaanya,tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat                                                                                                                                                             

B.     Filsafatnya
1.      Al-Tawfiq dan Al-Talfiq

Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan Al-Syafa’ terlihat pada tujuan pokok pada bidang keagamaan yang hendak mereka capai, yakni merekonsiliasikan atau menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha itu terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-saatunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.usaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat seebenarnya telah dilakukan Al- Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi bedanya kedua fiosof muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama,sebagaimana yang termuat dalam Al-quran.sementara itu Ikhwan al-Shafa’ melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama.karenanya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama islam, namun juga dengan antara filsafat dengan seluruh agama,ajaran, dan keyakinan yang ada.

Kesannya Ikhwan al-Syafa’menempatkan filsafat diatas agama. Akan tetapi, sebenarnya bukanlah demikian. Mereka hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dalam bidang agama.menurut mereka ungkapan Al-quran yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Baduiyang berkebudayaan bersahaja.

Pada pihak lain, tawfiq (rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan kata lain, mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat dapat juga memahami hakikat segala sesuatu, dan di akhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.
Sebenarnya antara tujuan filsafat dengan agama, menurut Ikhwan al-Syafa’ adalah sama. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang mulia dan tingkah laku yang terpuji. Sementara itu agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat.

Menurut diatas pandangan- pandangan mereka tidak berbeda dengan pandangan para filosof Muslim pada umumnya. Menurut filosof muslim agama memang seharusnya dinyatakan dalam lambang-lambang dan simbol-simbol (amsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar umat manusia. Jadi, dasar pemadunya menurut mereka seperti telah disebutkan, terletak pada tujuan agama itu sendiri, yakni untuk mendekatkan dirinkepada Allah.oleh karena itu mereka mencapai maksud tersebut diperlukan filsafat.

Selanjutnya mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti Islam, Kristen, Majuzi, Yahudi, dan lain-lainnya. Menurut mereka tujuan semua agama tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu mereka menghimoun, menyusun dan memadukan semua agama yang ada menjdi satu agama khusus yang didasari atas asas filsafat.ini akan mereka jadikan sebagai pegangan dalam negara baru yang mereka impikan.

2.      Ketuhanan 

Dalam pembahasan masalah ketuhanaan, Ikhwan Al- Shafa’ melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka angka bilangan adalah “lidah” yang mempercakapkan tauhid, al- tanzih, dan meniatakan sifat dan tasybih serta dapat menolak atas orangyang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.

Selanjutnya mereka katakan, angka satu seelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih daghulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang terdahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu darimpada yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.

Sebagaimana filosaof Muslim lainnya, Ikhwan al-Shafa’ juga melakukan al-tanzih dan meniadkan sifat sertaal-tasybih pada Allah Swt. Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah Zat Yang Esa, yang tidak mampu makhluknya untuk mengetahui hakikatnya. Ia pencinta segala yang ada dengan caraal- faidh (emanasi) dan memberi bentuk. Penciptanya tanpa waktu dan tempat cukup dengan firmannya: kun fakana maka adalah segala yang dikehendakinya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur seperti adanya angka dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lainnya, demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupainya. Akan tetapi, ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenalnya tanpa belajar.
Dari pembicaraan diatas terlihat jelas besarnya pengaruh NeoPythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan al- Shafa’. Barng kali kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al- Shafa’ mengambilnya sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Tentangf ilmu Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilang satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zatnya sebagaimana bilangan yang banyak dari dari bilangan yang satu yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.

3.      Emanasi ( al-faidh)

Filsafat emanasi Ikhwan al- Shafa’terpengaruh oleh Pytagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah aadalah pencipta dan mutlak Esa.dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan Akal. Selanjutnya Allahmenciptakan materi pertama (al- hayula al- ula). Dengan demikian, kalau Allah kadim, lengkap, dan sempurna, maka Akal Pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya.

Jadi,Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkasa rangkaian prises emanasi itu sebagai berikut:
Allah maha pencipta dan darinya timbulanya:
a.       Akal Aktif atau Akal Pertama (al- Aql al- Fa’al);
b.      Jiwa Universal (al- Nafs al- Kuliyyat);
c.       Materi Pertama (al- Hayula al- Ula);
d.      Alam Aktif (al – Thabi’at al Fa’ilat);
e.       Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jims al- Muthlaq);
f.       Alam Planet-Planet Alam al- Aflak);
g.      Unsur-unsur alam terendah (Anashir al- Alam al- Sufla’), yaitu air, udara, tanah dan api;
h.      Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Selaras dengan prinsip matematika Ikhwan Al-Shafa’ kedelapan mahiyah di atas bersama zat Allah yang mutlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini juga membentuk subtensi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging,urat, darah, saraf,kulit, rambut, dan kuku.

Proses penciptaan secara emanasi di atas, menurut Ikhwan Al- Shafa’ terbagi menjadi dua: (a) penciptaan sekaligus, daf’atan wahidah (b) penciptaan secaara gradual,tadrij. Penciptaan sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani, yakni akal, aktif, jiwa universal, dan materi pertama. Sementara itu, penciptaan gradual apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni Jisim Mutlak dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk perubahan- perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari.
4.      Matematika
Dalam pembahasan matematika Ikhwan Al- Shafa’ dipengarui oleh Pythagorasyang mengutamakan pembahasannya tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu ilmu hitung merupakan ilmu yang mulia dibanding ilmu empirik karena tergolog ilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala wujusd ini dan merupakan permulaan yang absolut. Huruh Hijaiyah yang 28 merupakan hasil perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung angka kesucian sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu didalam ini, seaperti empat penjuru angin, empat musim dan lainnya
5.      Jiwa Manusia
Dalam Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal dan berkmbangnya jiwa manusia banyak dipengarui materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya maka jiwa itu dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Dalam tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas
a.       Jiwa tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh semua makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan, timbuh, dan reproduksi
b.      Jiwa hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dana sensasi ( ersepsi dan emosi)
c.       Jiwa manusia
Jiwa ini hanya dimiliki oleh manusia, jiwa yang menyebabkan manusia berpikir dan berbicara.
Ketiga fakultas jiwa diatas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri manusia. Di inilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lainnya.

6.      Moral

Adapun tentang moral, Ikhwan al- Shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah si-sia. Keasabaran dan ketabahan dan kehalusan kasih sayang, keadilan rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi kaarakteristik pribadi


 




2.2 PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA TERHADAP PENDIDIKAN
1)      Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2)      Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a)      Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
Þ    Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
Þ    Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
Þ    Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.

Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b)     Sosok Guru Ideal
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1).  Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2).  Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3).  Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4).  Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.











BAB III
PENUTUP
3.1       KESIMPULAN
    Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
3.2       SARAN
       Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan rekan-rekan dalam memahami studi islam, masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang











DAFTAR  PUSTAKA

Sirajuddin Zar,  filsafat islam, ( Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, )
Nasution Hasyimsyah, 1999, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama.
Supriyadi Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, Bandung, CV Pustaka Setia.
Abdul aziz dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Djambatan

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

http://www.search-document.com/ppt/1/pelajaran-hadits-mts.html http://www.odrivers.com/2011/12/toshiba-nb505-n508bn-windows-7-32-bit.html

Blog Archive